PERAN ORANGTUA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN TUNANETRA GANDA
Oleh: Primaningrum A. Rustam, SKom
Kebutuhan akan pendidikan adalah hak azasi dari setiap insan di dunia ini. Tidak terkecuali bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Idealnya dunia anak-anak hanyalah bermain dan belajar, tanpa lagi dibebani oleh berbagai hal. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tetap adalah anak-anak. Sehingga dunia mereka pun tidak jauh dari bermain dan belajar.
Buat masyarakat “awam”, masyarakat “normal” atau masyarakat “sempurna” pemberian hak “pendidikan” kepada anak-anak mereka mungkin saat ini sudah memiliki pakem sendiri. Dimana usia sekian masuk TK, usia sekian masuk SD, dan seterusnya. Semuanya sudah berjalan sesuai dengan rel dan semestinya.
Nah bagaimana dengan para orangtua yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus? Disinilah letak peran serta orangtua yang porsinya lebih besar, daripada porsi orangtua dengan anak-anak tanpa kebutuhan khusus.
Beberapa tahapan yang biasanya dilalui oleh orangtua sebelum berada pada pemenuhan akan kebutuhan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
TAHAP KEBESARAN HATI
Hal yang manusiawi sekali bila setiap orangtua berkeinginan memiliki buah hati yang sehat walafiat, tanpa satu kekurangan apapun. Bahasa awamnya adalah memiliki anak yang “normal”, anak yang “sempurna”.
Sehingga jika orangtua yang diberi anugerah anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pastilah perang batin, beribu andai, beribu pertanyaan, perasaan bersalah dan sebagainya berkecamuk. Disinilah diperlukannya kebesaran hati untuk ikhlas menerima anugrah Tuhan YME.
TAHAP PENGOBATAN
Sebagian besar orangtua banyak juga yang melewati tahapan ini. Upaya pengobatan sudah pasti akan diupayakan. Dari sisi medis hingga sisi non medis atau biasa disebut pengobatan alternatif.
Disinilah terkadang beberapa orangtua terlena. Terlalu fokus kepada upaya pengobatan tersebut. TAHAP KESADARAN
Biasanya barulah kemudian orangtua berada pada sebuah tahapan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.
Tahapan-tahapan itu berbeda masanya pada tiap orangtua. Ada yang cepat sekali melewatinya, tetapi ada yang lambat melewatinya, bahkan beberapa kasus orangtua mengabaikan semua hal dan memilih bersikap apatis.
Cepat atau lambatnya orangtua melewati tahapan tersebut, banyak berdampak kepada tumbuh kembang anak juga dalam hal pemenuhan hak anak dalam pendidikan.
Beberapa kasus, karena lambatnya dari tahapan yang dilalui oleh orangtua, berdampak kepada “kecacatan sekunder” yang tidah harus terjadi. Bisa dimisalkan seperti, pada anak tunanetra, konsep “berjalan” tidak dimiliki dengan begitu saja. Anak tidak bisa melihat contoh dari “berjalan” itu apa. Keterlambatan penanganan dari orangtua, bisa berakibat anak lambat berjalan atau tidak bisa berjalan. Contoh kasus lain yang dialami oleh anak saya, pada usia 4 bulan balqiz menjalani pemeriksaan pada telinganya dan divonis menderita ketulian pada telinga kiri. Sehingga selain tunanetra balqiz juga dinyatakan tuli, sehingga diperlukan memakai alat bantu dengar. Tidak berhenti pada vonis tersebut, saya mengupayakan terapi musical. Diseluruh penjuru rumah saya memasang musik, sehingga kemana saja balqiz bergerak, dia berada dalam lingkungan “bersuara”. Alhamdulillah setahun kemudian, rupanya efek dari terapi tersebut membuahkan hasil, dan pendengaran balqiz dinyatakan normal.
Memiliki seorang anak tunanetra, memang membuat diri saya memaksa otak bekerja keras untuk memperolah sebanyak mungkin informasi sebanyak mungkin ilmu untuk membukakan jalan bagi anak. Minimnya buku panduan, minimnya sharing orangtua yang dipublikasikan membuat saya agak kesulitan. Sehingga hingga saat ini saya masih trial dan error dalam mendampingi anak saya, balqiz.
Saya berpendapat, sedini mungkin anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan, akan banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari si anak. Terlebih dengan kondisi ketunaan ganda. Disatu sisi minimnya pengetahuan orangtua mengenai penanganan dan pendidikan si anak. Di satu sisi dengan orangtua belajar bersama-sama dengan anak dalam bimbingan guru di sekolah luar biasa, diharapkan memacu semangat dan kreatifitas orangtua dalam proses pembelajaran lanjutan dirumah.
Disinilah terkadang kendala terjadi. Orangtua menganggap sudah menyerahkan bimbingan anaknya kepada para guru disekolah, sehingga merasa hal itu sudah cukup dilakukan. Merasa bahwa segala sesuatunya bisa dilakukan oleh guru disekolah.
Peran orangtua sangat penting dalam segala proses belajar mengajar. Tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah. Diperlukan juga komunikasi dua arah yang berkesinambungan sehingga kendala-kendala yang terjadi dirumah maupun disekolah bisa didiskusikan bersama dan dicarikan solusi yang terbaik buat penanganan anak selanjutnya.
Dan seharusnya pula, proses belajar mengajar tidak berhenti hanya di sekolah, dimana begitu sampai dirumah, anak tidak belajar dan orangtua pun tidak mewajibkan, karena sang orangtua merasa bahwa sudah cukup apa yang dipelajarin disekolah.
Untuk mendukung proses belajar mengajar ini, dengan kondisi anak tunanetra, orangtua juga harus belajar membaca tulis braille. Atau dengan kondisi anak tunarungu orangtua juga harus belajar bahasa isyarat. Dengan kondisi anak yang tunanetra ganda memang harus lebih ekstra lagi dalam proses belajar mengajar ini bagi orangtua. Dimana memang diperlukan banyak kerjasama dengan banyak pihak. Tentunya selain dengan guru, juga dengan terapis yang menangani anak.
Beberapa kasus pada teman-teman orangtua, saya menemui orangtua enggan belajar braille atau orangtua enggan belajar bahasa isyarat. Sehingga proses belajar mengajar akan terhenti saat dirumah. Kondisi seperti itu, sebenarnya secara tidak langsung membuat anak merasa frustasi/ patah arang jika berada dirumah. Dikarenakan dia dirumah tetapi tidak merasa berada dirumah. Dikarenakan merasa tidak bisa berkomunikasi dengan orangtua/ saudaranya.
Contoh kasus, dengan kondisi Balqiz yang tunanetra dan sempat menderita ketulian, saya memang harus belajar baca tulis braille, walaupun saya belum terlalu lancar juga tetapi saya memaksa seluruh orang didalam rumah agar bisa minimal membaca braille. Jadi dari saya, ayah Balqiz, hingga asisten dirumah pun beramai-ramai belajar braille. Dan banyak tempat juga yang saya tempelin dengan huruf-huruf braille. Sehingga Balqiz bisa mengetahui nama benda yang sedang dipegang sekaligus dia mengetahui ejaan dari barang tersebut. Dan karena sudah terbiasa dengan berbagai terapi musik yang diberikan, Balqiz punya ketertarikan yang cukup besar dengan nyanyian. Cukup banyak lagu anak-anak yang dikuasai.
Saya belum merasa sebagai orangtua yang sempurna, orangtua yang baik bagi anak saya, dan saya juga belum merasa mumpuni dalam menangani anak tunanetra. Saya sendiri masih dalam taraf belajar. Belajar bersama-sama Balqiz, masih trial & error juga dalam segala hal guna membuka jalan bagi masa depan Balqiz.
Tetap Berpikir positif salah satu kunci keberhasilan. Jangan pertanyakan apa yang tidak bisa dilakukan, tetapi lihat apa yang sudah bisa dilakukan***
makalah ini dibawakan dalam seminar dan lokakarya nasional "Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Tunanetra Ganda Dalam Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua Tahun 2015" kerjasama ICEVI dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Rabu 28 Mei 2008