Alhamdulillah hari Jumat 6 November 2009 lalu bunda dapat kesempatan menghadiri Refleksi Penyelenggara Pendidikan Inklusi atas undangan HKI. Sebuah kesempatan yang sayang dilewatkan mengingat bunda memang sedang dalam proses mempersiapkan Balqiz untuk bisa mengikuti pendidikan inklusi. Dan apa yang bunda peroleh memang berharga sekali buat bunda.
Apa sih inklusi itu? Buat banyak orang kata ‘inklusi’ memang belum familiar, apa seh inklusi itu????
Singkat kata; Pendidikan inklusi adalah penyelenggaraan pendidikan bagi ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yang secara akademik/ intelektual mampu bersekolah di sekolah regular/ umum.
Jadi idealnya sekolah manapun tidak boleh ‘menolak’ siswa ABK yang mendaftar masuk. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua sekolah mau dan siap menerima ABK. Banyak hal yang ‘menghalangi’
Terhitung sejak tahun 2005, dimana ada beberapa sekolah yang telah ditunjuk sebagai model ‘sekolah inklusi’.
Bunda simpulkan bahwa beberapa hal yang harus dipersiapkan dalam menjalani pendidikan inklusi;
· Kesiapan ABK
· Kesiapan orangtua
· Sekolah tujuan
· Sarana prasarana
· Lingkungan
· GPK
v Rasanya 2 poin teratas yang paling penting dari segalanya. Kesiapan mental dari ABK dan orangtua. Karena objek utamanya ya ABK tersebut. Dengan pendampingan orangatuanya.
Walaupun poin-poin yang lainnya bukan berarti tidak penting, semuanya adalah saling mendukung dan berkaitan.
v Sekolah tujuan memang harus memiliki kesiapan tersendiri dalam menerima ABK untuk bisa ber-inklusi. Banyak sekolah yang mengemukakan beribu ‘alasan’ untuk membenarkan ‘menolak’ ABK. Sehingga yang terjadi adalah sekolah yang siap dan bersedia menyelenggarakan Pendidikan Inklusi letaknya jauh dari tempat tinggal. Sedangkan idealnya sekolah inklusi adalah berlokasi terdekat dari tempat tinggal.
Alasan yang umum diberikan pihak sekolah adalah;
· Sekolah tidak siap
· Tidak ada sarana prasarana
· Guru tidak berkemampuan meng-handle ABK
· Memikirkan ‘image’/ mutu sekolah
· Protes dari komite (orangtua siswa)
Sebenarnya kalau berbicara soal ‘siap’ rasanya semua sekolah harus siap, dimana perangkat UU-nya sebenarnya ada dan sudah jelas. Ditambah untuk daerah DKI ada PerGub-nya. Ditambah lagi saat ini yang baru saja ditandatangani adalah PerMen No. 70 Tahun 2009.
Hanya saja pada pelaksanaannya dikarenakan tidak adanya punishment dari perangkat UU yang ada, maka sekolah merasa ‘sah-sah’ saja untuk menolak siswa ABK.
Kalau yang disinggung soal ‘image’ ini yang bikin pusing,
‘bu, sekolah saya kan sekolah favorit! Trus kalo saya terima anak ibu, nanti sekolah saya gak jadi favorit lagi’
‘bu, nanti kalo saya terima anak ibu, trus mutu sekolah saya turun dong’
Atau…
‘bu, nanti gak ada lagi yang daftar ke sekolah sini, karena dianggap ini sekolah SLB’
Belum lagi jika adanya protes dari berbagai orangtua siswa lain, tidak mau anaknya bergaul dengan ABK. karena masih banyak masyarakat yang menganggap ketunaan sebagai ‘aib’, sebagai sesuatu yang ‘aneh’, sebagai sesuatu yang ‘punya dunia sendiri dan tidak seharusnya berada dalam lingkungan masyarakat norma;’.
v Sarana prasarana sekolah pun harus diperhatian, sebagai contoh untuk gedung sekolah yang bertingkat tentunya harus memikirkan bagaimana meng-handle ABK tunadaksa yang harus menggunakan kursi roda, kemudian tangga yang terjal pun harus diperhatikan penggunaannya bagi ABK tunanetra.
Termasuk didalamnya penyediaan buku buku braille yang diperlukan oleh ABK tunanetra, dan sistem ujian berikut ijasah bagi ABK Kesulitan Belajar.
v Lingkungan pun berperan penting, terutama dalam pembinaan mental psikologis anak. Diperlukan totalitas penerimaan lingkungan bagi ABK. Tidak hanya dari manajemen sekolah, tetapi juga dari para siswa lain, para orangtua.
v GPK disini adalah Guru Pendamping Kelas. GPK amat sangat diperlukan bagi ABK. Untuk pendampingan ABK di kelas, sebagai mediator antara ABK, guru, orangtua. Namun yang amat disayangkan keberadaan GPK ini juga membingungkan. Membingungkan buat siapa? sekolah mengatakan ‘tidak ada dana’ untuk bisa mengadakan GPK, bagi orangtua sendiri tidak semuanya berkemampuan untuk ‘meng-gaji’. Sementara menanti pengangkatan GPK oleh pihak pemerintah (dalam hal ini diknas), entah sampai kapan penantiannya berakhir. Pembiayaan dari LSM-pun terbatas. Dan idealnya GPK hanyalah GPK tidak merangkap sebagai guru kelas. Dikarenakan memang beban pekerjaanya pun rasanya tidak memungkinkan untuk dirangkap. Namun kenyataan yang ada dilapangan adalah GPK merangkap sebagai guru kelas.
Dan,...
Dengan begitu kompleksnya permasalahan inklusi ini, jujur membuat bunda ciut hati untuk bisa menjalani pendidikan inklusi bagi Balqiz. Kesannya jadi ‘Kalah sebelum Berperang’. Dalam hati bunda merenung, sanggupkah bunda mendampingi Balqiz, sanggupkah Balqiz menjalaninya?.
Setelah bunda telaah renungkan kembali, apa sih yang membuat hati bunda ‘ciut’???? yang bikin bunda ciut hati adalah, jika harus ‘babat alas’ (istilah; membuka jalan). Kenapa? Mengingat saat ini lokasi sekolah yang sudah ber-inklusi letaknya jauh dari tempat tinggal bunda. Jadi jika bunda memilih lokasi sekolah yang dekat dengan rumah, otomatis harus memulai kondisi ‘babat alas’, memulai dari sebuah angka 0 besar.
Bunda merasa; tidak mudah mengenalkan konsep inklusi untuk sebuah sekolah yang ‘belum mengenal inklusi’. Rasanya yang tergambar didepan mata adalah ‘penolakan’!
Mungkin jika nyemplung dalam sekolah yang telah ber-inklusi, bunda tidak se-ciut ini nyalinya.
Rasanya seperti pesimis, siapa tahu ternyata Balqiz amat sangat siap menjalani pendidikan inklusi? Who knows,...
1 komentar:
semangat terus ya mbak Prima
Posting Komentar