Tulisan
ini terinsipirasi dari sebuah obrolan pendek, dan sampai bingung mau ngasih
judul apa dari tulisan ini.
“bun,
keponakanku sudah 7 tahun, dia terlambat bicara dan sekarang sekolahnya masih
di tk. Kok gak terlihat ada kemajuan ya setelah sekolah”
“terlambat
bicaranya menurut diagnosa dokternya apa”
“ada
hambatan pendengaran bu”
“hambatan
di sekolah menurut guru yang menangani apa?”
“nggg….
Ya katanya sih anaknya gak bisa ngikutin pelajaran”
“gimana
kalo bersekolah di SLB”
“haaahh!!
SLB bun? Aduuuhhh jangan dong bun. Masa di SLB sih”
“lhoo
emang kenapa dengan SLB? Anakku sendiri juga sekolahnya di SLB kok”
“haaaahh?
Bunda anaknya sekolah di SLB. Duh bun.. jangan dong. Kan malu kalo sekolah di
SLB. Kan keponakanku gak cacat”
“abk,
anak berkebutuhan khusus, bukan cacat”
“ya
sama aja kan bun… gak ah, keluarga bakalan malu kalo ada yang sekolah di SLB”
Obrolan
terhenti namun meninggalkan ‘pikiran’
pada diriku.
Rupanya
masih ada stigma pada masyarakat yang menilai SLB dengan sesuatu yang ‘jelek’, ‘memalukan/ aib’ di tengah ‘kemajuan’
jaman saat ini.
Aku sangat
mendukung program inklusi abk pada sekolah regular/ umum. Dan sangat berharap
sekali satu saat kelak Balqiz bisa bersekolah inklusi di sekolah umum. Entah kapan
waktu yang tepat itu, sedang dalam proses mempersiapkannya. Buat aku, persiapan
berinklusi sangat penting, gak asal cemplungin anak di sekolah regular/ umum
tanpa pembekalan yang matang. Apa saja? Banyak. Mulai dari lancarnya anak
membaca menulis dan memahami pelajaran, sosialisasi yang baik, kesiapan mental,
emosi.
Namun
kembali lagi berpikir, bahwa ada beberapa kemungkinan yang bisa dianalisa
kenapa seorang abk tidak bisa berprestasi dengan baik di sekolah umum.
Mulai
dari belum ada kesiapan mental sang anak, sulitnya menjalin komunikasi antara
anak dan guru/ lingkungan sekolah, ada hambatan pada abk yang belum terdeteksi,
minimnya komunikasi pihak sekolah dan orangtua, dll.
Dan
utama lagi dalam kasus diatas adalah totalitas penerimaan akan ‘keberadaan abk’. Diakui iya ‘abk tersebut’ ada, namun belum ada
totalitas penerimaan akan abk tersebut. Penerimaan abk atas segala kelebihan
dan kekurangan potensi yang ada pada dirinya.
Memang,
secara kasat mata, penyandang disabilitas tunarungu/ tunawicara tidak terlihat.
Mereka tidak terlihat ‘perbedaannya’
apabila berada di masyarakat, nanti setelah ‘berkomunikasi’ barulah perbedaan tersebut muncul.
Sehingga
banyak hal yang harus di evaluasi dalam kasus diatas. Aku hanya bisa
menyarankan untuk konsultasi kembali anak pada klinik tumbuh kembang yang
merawatnya, sehingga bisa di evaluasi dan di deteksi adakah hambatan lain pada
abk tersebut. Dan memberikan pandangan bahwa SLB tidak ‘sejelek’ yang selama ini menjadi ‘image’ di masyarakarat. Saran bagi orangtua dan keluarga agar bisa
bergabung bersama parent support grup atau komunitas dari orangtua/ keluarga
abk penyandang tunarungu/ tunawicara sehingga orangtua/ keluarga bisa
memperoleh penguatan/ dukungan.
Tidak
menutup kemungkinan bahwa tempat yang tepat bagi abk tersebut berada di SLB. Mungkin
saja setelah bersekolah di SLB, prestasinya akan terlihat menonjol dan bisa
berkembang dengan baik sesuai dengan usianya.
Karena
anak berada di sebuah lingkungan yang kondusif, bisa menjalin komunikasi dengan
sekitar, dan bisa memahami mata pelajaran dengan baik dan bisa meraih prestasi
yang membanggakan. Sembari kemudian hari menata kembali dan mempersiapkan
dengan baik kembali bersekolah di sekolah regular/ umum mengikuti program
inklusi. Banyak kok abk yang juga sukses ber-inklusi. Dan banyak juga abk yang
berprestasi di SLB.
Lagi-lagi,
akar masalahnya adalah ‘totalitas
penerimaan abk’ dalam keluarga. Masalah klasih. Namun adalah ‘peer’ besar.