Minggu
lalu saat balqiz berendam di kamar mandi, rupanya telinga kirinya kemasukan
air. Selesai mandi sebenarnya dia sudah mengeluh. Sudah ibuk coba bersihkan
dengan cotton buds namun katanya sih masih ada airnya. Karena gak berani
terlalu dalam memasukkan cotton buds, segera disudahi dan biasanya secara
perlahan nantinya air yang masuk akan keluar dengan sendirinya. Dan setelah itu
tidak ada lagi terdengar keluhan dari acis, jadi ya tenang-tenang saja. Ibuk
pikir ya masalah sudah selesai.
Namun
ternyata, hingga beberapa hari kemudian kembali balqiz mengeluh kalau telinga
sakit, bahkan saat terpegang daun telinganya saja sudah terasa sakit. O… oo…
setelah di interogasi ya ternyata memang sejak kejadian kemasukan air itu dan
setelah dicoba dibersihkan masih terasa tidak nyaman dirasakan.
Akhirnya
diputuskan harus ke dokter tht. Cumaaaa mikir juga nih. Dokter tht yang dulu
merawat balqiz adalah dr. Semiramis, SpTht yang prakteknya di RS PIK dan di THT
Komunitas RSCM. Wew…. Rasanya kok wow banget ya jika harus ke blio dan harus
menempuh jarak yang jauh serta merta terbayang adalah harus membelah kemacetan
di dalam kota. Jadi dipilihlah ke RS Haji Pondok Gede saja yang deket. Sempet
si ayah nyuruhnya ke RSIA Hermina Jatinegara aja, dimana medical record acis ada
disana. Tapi ya itu dia yang ngadepin situasi kemacetan di jalanan kan ibuk
bukan si ayah, jadilah si ibuk tetap memutuskan ke RS Haji saja yang terjangkau
jaraknya dari rumah, jikapun gak bawa kendaraan sendiri masih bisa naik angkot.
Berangkatlah
ibu, acis dan kakak alifah ke RS Haji. Daftar aja ke dokter THT yang sedang
praktek saat itu. Wes gak pake milih milih dokter, dan gak sempet juga cari
cari info tentang track record dokternya. Yang penting acis bisa segera
mendapat diagnosa dan ditangani dengan baik. Jadilah di daftarkan ke dr. F,
SpTHT oleh petugas administrasi yang menerima registrasi.
Alhamdulillah
tidak terlalu ramai, hanya menunggu 1 orang pasien yang diperiksa sebelum
balqiz. dokternya sudah sepuh, dan yang aku rasakan sih tidak terlalu ‘bisa’
berkomunikasi, cepat menyerah saat balqiz sempat menolak di pegang telinganya,
maunya intervensi saat balqiz gelisah dan aku sedang berusaha menenangkan.
Hmmmmm…. Lengkap kronologisnya adalah,..
Setelah
menyampaikan keluhan yang dirasakan acis, dokter meminta acis duduk di kursi
periksa, seperti biasa aku meminta waktu sejenak kepada dokter untuk acis
orientasi sebentar, aku minta balqiz meraba dan kemudian duduk di kursi sembari
aku menjelaskan bentuk kursi, kegunaan dan kenapa harus duduk disana. Belum
selesai semua proses tersebut, sang perawat dan dokter yang sama sama tidak
sabar, langsung mengeksekusi memegang kepala balqiz untuk bisa diposisikan
telinganya. Bisa ketebak kaaaannn…. Balqiz langsung tereak dan berontak. Seketika
sang dokter mengatakan ya sudah kalau gak bisa diperiksa. Nanti datang lagi
kalo sudah bisa. Hiksss….
Si
ibuk mpe bingung sendiri mau membujuk siapa dulu nih. Mau membujuk dan
menenangkan acis dulu atau berargumen dengan sang dokter. Akhirnya aku tarik
tangan kakak alifah dan meletakkan tangan kk di tangan acis untuk membantu
menenangkan sementara aku berbicara dengan dokter. Kembali aku meminta waktu
untuk membujuk balqiz dan menjabarkan kepada balqiz apa saja yang ada di
sekitar dan juga berbicara dengan suster agar dia tidak memegang kepala balqiz
tanpa permisi terlebih dahulu dan aku meyakinkan suster bahwa tanpa dipegang
pun balqiz nanti akan menurut asal diberi waktu.
Singkat
kata, akhirnya bisa membujuk balqiz sekaligus menjelaskan kepada sang dokter
bagaimana berinteraksi dengan balqiz yang tunanetra. Balqiz bisa duduk tenang
di kursi periksa dan menjalani pemeriksaan.
Yang
terjadi adalah air yang masuk terperangkap dalam kantung udara di dalam telinga
dan ternyata ada kotoran yang langsung dibersihkan. Waks…. Takjub juga melihat
kotoran yang ada di dalam telinga, bentuknya berserabut, memanjang, berwarna
hitam, mirip dengan tampilan biji kurma.
Ternyata
masih ditemui team medis yang ‘belum’ bisa luwes berinteraksi dengan anak-anak
berkebutuhan khusus. Dari pengalaman ini, yang tertangkap bahwa mereka hanya
berpikir cepat selesai dilakukan pemeriksaan dan tidak mencoba untuk
berinteraksi agar pasien merasa nyaman terlebih dahulu.
Pelajaran
buat kita semua, bagi para orangtua harus mempersiapkan ‘social story’ kepada
anak saat akan ke dokter atau kemanapun, sehingga anak punya ‘gambaran’ apa
yang akan terjadi pada dirinya sehingga bisa meminimalis reaksi tantrum anak.
Harus diakui pula bahwa ‘bagian ini’ pun bukan hal yang mudah dilakukan,
terlebih apabila abknya masih memiliki hambatan komunikasi.
Pelajaran
bagi team medis sendiri dalam menghadapi anak-anak terlebih anak berkebutuhan
khusus memang diperlukan waktu dan komunikasi yang tidak bisa disamakan dengan
kondisi pasien umum. Membutuhkan ‘passion’ sendiri. tidak mudah memang, tapi
yakin bisa.