Nama saya Primaningrum. Saya ibu yang memiliki anak tunanetra usia 6
tahun. Namanya Balqiz. Saya ingin membagikan kebahagiaan, karena sudah
setahun ini Balqiz telah lebih mandiri bermobilitas, dan pandai
menggunakan tongkat sebagai alat bantu mobilitas, alhamdulillah.
Selama saya belajar bagaimana mengasuh anak tunanetra, saya memahami
tak ada patokan baku pada usia berapa seorang anak tunanetra mulai
diperkenalkan tongkat sebagai alat bantu. Semua tergantung dari
kemampuan dan kebutuhan anak. Apalagi tiap anak juga individu yang unik.
Sebelum mengajarkan bagaimana menggunakan tongkat, terlebih dahulu
harus melewati masa pembelajaran pra-tongkat. Saat itu diperlukan
modivikasi dari alat bantu yang sesuai dengan kondisi anak, mulai dari
ukuran hingga model dari pra-tongkat tersebut. Selain itu anak juga
mulai di ajarkan konsep ruang, meliputi, sisi kanan, sisi kiri, belok
kiri, belok kanan, depan, belakang, atas, bawah, serta maju dan mundur.
Ini proses pembelajaran yang membutuhkan waktu, kerja keras dan
ketekunan.
Balqiz mulai belajar memakai tongkat setelah saya mengevaluasi banyak
hal, termasuk kemampuannya dalam melakukan orientasi dan mobilitas.
Alhamdulillah Balqiz bisa belajar dengan mudah. Bagaimana cara dia harus
menggerakkan tongkatnya, cara mengetukkan, dan selebar apa dia bisa
menggerakkan tongkat ke arah kanan kirinya. Dan akhirnya dia bisa
belajar bahwa pada kondisi lantai licin seperti di dalam ruangan, dia
bisa menggunakannya dengan mendorong tongkat itu serta sesekali
menggerakkan ke kanan dan kiri. Bila menemui permukaan yang tidak rata,
balqiz telah paham. Ia akan mengorientasi areal itu dengan menggerakkan
tongkat ke kanan dan kiri
Jika berada di ruangan atau lingkungan yang Balqiz sudah sangat
hafal, terkadang ia hanya menenteng tongkatnya saja. Bahkan kadang ia
melipat tongkat itu dan tidak menggunakannya. Rasa percaya dirinya cukup
besar untuk melangkahkan kaki bergerak sesuai keinginannya.
Tantangan terbesar bagi Balqiz adalah bagaimana dia menggunakan
tongkat jika berada di area publik. Di jalan raya misalnya, dengan
Kondisi lalu lintas yang ramai masih membuat Balqiz takut dan lebih
memilih untuk digandeng. Namun jika ada di lingkungan kompleks rumah
yang tidak terlalu ramai, Balqiz sudah mampu berjalan dari rumah menuju
ke rumah nenek atau tantenya yang hanya berbeda blok saja.
Berada di mal adalah tantangan lainnya. Berpapasan dengan banyak
orang blalu lalang; sempitnya ruang di antara toko satu dengan lainnya;
atau banyaknya stand yang berada di tengah areal mal. Lalu lalang
orang-orang tak semuanya dengan kecepatan langkah sama. Tak jarang saat
sedang melangkah tiba-tiba ada orang berada di depan berhenti mendadak
karena melihat ada sesuatu menarik perhatian. Ini akan menghambat
langkah Balqiz yang berada di belakangnya. Ini juga membuat tongkat
Balqiz mengenai kaki-kaki mereka. Atau saat berpapasan dengan orang yang
jalan terburu-buru, dan kaki orang tersebut tersandung oleh tongkat
Balqiz.
Reaksi mereka beraneka ragam. Mulai dari gerutuan, amarah, hingga simpati.
"Kalau jalan liat-liat!" "Gimana sih? Orang berhenti ditabrak saja!" "Aduh! Tongkat apaan sih ini?"
Dan sayalah, sebagai ibu yang juga pendamping Balqiz berusaha
menetralisir situasi. Saya minta maaf atas ketidak sengajaan Balqiz
menabrakkan tongkatnya, atau membuat langkah mereka tersandung. Saya
menjelaskan bahwa Balqiz adalah anak tunanetra, dan tongkat yang dipakai
itu adalah alat bantunya berjalan. Sebagian ada yang bisa menerima,
namun tidak jarang tetap terlihat rasa kesal di raut wajah mereka.
Mungkin karena masih sangat jarang masyarakat melihat tunanetra berusia 6
tahun menggunakan tongkat saat ada di mal. Kalaupun mereka melihat dan
berinteraksi dengan tunanetra, biasanya adalah tunanetra dewasa.
Reaksi Balqiz lain lagi. Tak jarang dia heran mendengar ibunya
meminta maaf kepada orang."ibu, kenapa ibu minta maaf?" begitu dia
bertanya.
Saya jelaskan bahwa Balqiz tidak sengaja telah menabrak orang yang
ada di depannya, atau telah ada orang tersandung tongkatnya. Tak mudah
juga bagi Balqiz menerima hal tersebut. Mungkin karena dia merasa bahwa
dirinya ‘tidak bersalah’. Katanya: "kan yang berhenti tiba-tiba orang
itu ya salahnya sendiri kalau sampai tertabrak." Atau, "salah sendiri
mengapa terburu-buru, jadi nggak bisa lihat kalau ada anak tunanetra
sedang pakai tongkat." * Primaningrum (Bunda Balqiz).
http://www.primaningrum-arinarresmi.blogspot.com
http://www.allaboutbalqiz.blogspot.com
tulisan asli di terbitkan di mitranetra