oleh; Primaningrum A. Rustam, SKom
dibawakan pada Seminar PAUD bagi ABK, Park Hotel 27 Mei 2010
Mengutip dari Sambutan Bapak Dr. Damanhuri Rosadi, SKm selaku Ketua Harian Forum Pengembangan Anak Usia Dini Indonesia pada situs FPAUDI yakni;
“Pengembangan manusia yang utuh dimulai sejak anak dalam kandungan dan memasuki masa keemasan atau “golden ages” pada usia 0 - 6 tahun. Masa keemasan ini ditandai oleh berkembangannya jumlah dan fungsi sel-sel saraf otak anak. Fungsionalisasli sel-sel saraf tersebut akan berjalan dengan optimal manakala ada upaya sinerji.
Pada masa keemasan (’golden age’) seorang anak terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisik, tetapi sekaligus masa rapuh. Oleh karena itu masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi dan sosial anak dimasa datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati maka tidak dapat tergantikan”
Serta mengutip dari Visi Misi PAUD pada situs PAUD DEPDIKNAS yakni;
Visi
Terwujudnya anak usia dini yang cerdas, sehat, ceria dan berakhlak mulia serta memiliki kesiapan baik fisik maupun mental dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Misi
Meningkatkan perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD melalui penyelenggaraan PAUD yang mudah dan murah, tetapi bermutu.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan layanan PAUD.
Memberikan layanan yang prima (efektif, efisien, akuntabel, transparan) kepada masyarakat di bidang PAUD.
Perlu ditelaah kembali apakah, hal hal tersebut diatas juga menjadi hak dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?
Seharusnya IYA!
Baik anak ‘normal’ maupun berkebutuhan khusus, mereka sama sama mengalami masa keemasan yang disebut ‘golden age’ dan mereka juga mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Sejak Dini!
Dalam masyarakat awam, saat ini seperti sudah terjadi ‘pakem’, bahwa usia sekian masuk playgroup, usia sekian masuk taman kanak kanak, usia sekian masuk sekolah dasar dan selanjutnya. Dan lembaga yang memfasilitasi bagi anak-anak ‘normal’ sangat banyak. Nah bagaimana dengan anak anak berkebutuhan khusus?
Dari persoalan informasinya yang masih sangat minim diperoleh baik mengenai pentingnya PAUD bagi ABK, ditambah dengan jumlah sekolahnya pun yang masih dalam hitungan jari, memang pada akhirnya belum bisa memfasilitasi seluruh kebutuhan dari anak anak berkebutuhan khusus, terutama untuk pendidikan usia dini.
Pentingnya PAUD bagi ABK adalah semakin cepatnya ABK mendapat pendidikan maka semakin cepat pula ‘delay waktu’ yang terentang antara kesetaraan ABK dan ‘anak normal’ semakin kecil. Sehingga ABK nantinya bisa mengembangkan intelektual, emosi dan sosial semaksimal mungkin.
Untuk mengarahkan ABK memperoleh PAUD pada lembaga-lembaga umum (bukan SLB) ternyata hampir tidak ada yang mau menerima ABK. Contoh kasus, pada dua lembaga PAUD yang letaknya dekat dengan rumah (salah satunya bahkan berada di komplek perumahan kami), mereka menolak untuk menerima Balqiz. Dengan alasan klasik, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bisa menerima ABK dan menyarankan untuk ke lembaga/ sekolah khusus dan hingga alasan yang rasanya mengada-ada seperti kuatir mengganggu proses belajar anak-anak yang lain atau merepotkan.
Dan jika ada lembaga yang mau menerima, letaknya sangat jauh dari lokasi rumah, sehingga tidak lagi tercapai sebuah suasana pendidikan yang menyenangkan bagi anak, dikarenakan untuk mencapai lokasi lembaga pendidikan harus ditempuh dengan jarak yang jauh dan waktu yang cukup lama bagi anak. Belum lagi akan timbul masalah transportasi dan pengawasan bagi anak.
Kasus serupa juga terjadi pada beberapa teman yang berada di luar kota Jakarta. Yang sudah kami temui adalah di kota Bandung, Semarang, Jogja dan Balikpapan. Walaupun sebenarnya jika melihat kota-kota tersebut, sudah termasuk dalam kota provinsi yang seharusnya memiliki lembaga yang bisa memfasilitasi. Sehingga timbullah sebuah pertanyaan, di kota kota besar saja ABK tidak/belum bisa memperoleh PAUD yang sudah seharusnya menjadi hak mereka, bagaimana dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia?
Itulah beberapa hal yang membuat saya bersyukur bahwa saya berada di sebuah kota besar, yakni Jakarta, di mana anak saya, Balqiz Baika Utami, bisa memperoleh PAUD disebuah SLB. Balqiz memulai PAUDnya di usia 2 tahun 3 bulan.
Namun demikian akan muncul lagi sebuah pertanyaan lain, apakah berada di sebuah kota besar lantas segalanya mudah? Sulit atau mudah sebenarnya sangat relatif. Di kota besar atau kecil sebenarnya juga relatif. Mengapa? Selain dari kendala ketersediaan lembaga PAUD juga ada kendala lain.
Kendala lain yang terjadi di lapangan terkadang sekolahnya ada, program yang diperuntukkan untuk ABK juga lengkap, namun terkendala oleh sikap dari orangtua dari ABK yang belum sepenuhnya bisa ‘menata hati’.
Sikap orangtua yang masih mendua, di satu sisi menyadari bahwa anaknya memerlukan pendidikan dan bimbingan, di sisi lain masih berperang batin bahwa ‘aku orang termalang di dunia’ dan segala ‘andai’ yang berkecamuk, juga menimbulkan tidak tercapainya tujuan dari PAUD bagi ABK tersebut. Kendala tersebut cukup menyulitkan bagi orangtua untuk dapat terus menerus bisa berpikir positif mengenai kemajuan pendidikan ABK.
Yang terjadi adalah usia anak semakin besar namun belum juga memperoleh pendidikan bagi dirinya, hingga saat orangtua tersadar ternyata usia anak sudah terlambat, sudah mencapai 7, 8 bahkan 10 tahun atau lebih, barulah terpikir untuk memberikan pendidikan.
Atau, sang anak sudah sejak dini memperoleh pendidikan namun dikarenakan si orangtua masih ‘menata hati’, akhirnya pendidikan bagi ABK tidak bisa maksimal dikarenakan belum adanya keselarasan, kesamaan langkah antara lembaga pendidikan dan orangtua.
Sesungguhnya sekarang, pilihannya ada pada para orangtua sekalian;
Segera menata hati (dan bangun!) demi pendidikan dan masa depan anak ABK yang lebih baik, atau terus-menerus memanjakan hati dan berandai-andai serta membiarkan sang anak tetap ‘berkebutuhan khusus’.
Itulah yang saya maksudkan bahwa baik dikota besar atau kecil, sulit atau mudah adalah relatif. Sulit jika memang dikondisikan sebagai hal yang sulit tapi mudah jika orangtua bisa mencari dan mengupayakan solusi dari kendala kendala tersebut.
Sebagai contoh kasus, seorang sahabat yang bermukim di Semarang, dengan rela dan berupaya keras untuk bisa memperoleh PAUD bagi anaknya yang berusia 2,5 tahun penyandang tunanetra harus menempuh jarak yang cukup jauh menuju kota Klaten. Dan seorang sahabat lainnya yang juga memiliki seorang anak berusia 5 tahun penyandang low vision yang berada di Jogjakarta dan jarak tempuh menuju PAUD hanya 1 km namun menolak untuk memberikan PAUD bagi anaknya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa kendala yang terjadi di lapangan adalah;
Kurangnya informasi pentingnya PAUD bagi ABK
Kurangnya lembaga pendidikan yang mau memfasilitasi PAUD bagi ABK
Kesiapan orangtua untuk bisa memberikan PAUD bagi ABK
dibawakan pada Seminar PAUD bagi ABK, Park Hotel 27 Mei 2010
Mengutip dari Sambutan Bapak Dr. Damanhuri Rosadi, SKm selaku Ketua Harian Forum Pengembangan Anak Usia Dini Indonesia pada situs FPAUDI yakni;
“Pengembangan manusia yang utuh dimulai sejak anak dalam kandungan dan memasuki masa keemasan atau “golden ages” pada usia 0 - 6 tahun. Masa keemasan ini ditandai oleh berkembangannya jumlah dan fungsi sel-sel saraf otak anak. Fungsionalisasli sel-sel saraf tersebut akan berjalan dengan optimal manakala ada upaya sinerji.
Pada masa keemasan (’golden age’) seorang anak terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisik, tetapi sekaligus masa rapuh. Oleh karena itu masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi dan sosial anak dimasa datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati maka tidak dapat tergantikan”
Serta mengutip dari Visi Misi PAUD pada situs PAUD DEPDIKNAS yakni;
Visi
Terwujudnya anak usia dini yang cerdas, sehat, ceria dan berakhlak mulia serta memiliki kesiapan baik fisik maupun mental dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Misi
Meningkatkan perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD melalui penyelenggaraan PAUD yang mudah dan murah, tetapi bermutu.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan layanan PAUD.
Memberikan layanan yang prima (efektif, efisien, akuntabel, transparan) kepada masyarakat di bidang PAUD.
Perlu ditelaah kembali apakah, hal hal tersebut diatas juga menjadi hak dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)?
Seharusnya IYA!
Baik anak ‘normal’ maupun berkebutuhan khusus, mereka sama sama mengalami masa keemasan yang disebut ‘golden age’ dan mereka juga mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Sejak Dini!
Dalam masyarakat awam, saat ini seperti sudah terjadi ‘pakem’, bahwa usia sekian masuk playgroup, usia sekian masuk taman kanak kanak, usia sekian masuk sekolah dasar dan selanjutnya. Dan lembaga yang memfasilitasi bagi anak-anak ‘normal’ sangat banyak. Nah bagaimana dengan anak anak berkebutuhan khusus?
Dari persoalan informasinya yang masih sangat minim diperoleh baik mengenai pentingnya PAUD bagi ABK, ditambah dengan jumlah sekolahnya pun yang masih dalam hitungan jari, memang pada akhirnya belum bisa memfasilitasi seluruh kebutuhan dari anak anak berkebutuhan khusus, terutama untuk pendidikan usia dini.
Pentingnya PAUD bagi ABK adalah semakin cepatnya ABK mendapat pendidikan maka semakin cepat pula ‘delay waktu’ yang terentang antara kesetaraan ABK dan ‘anak normal’ semakin kecil. Sehingga ABK nantinya bisa mengembangkan intelektual, emosi dan sosial semaksimal mungkin.
Untuk mengarahkan ABK memperoleh PAUD pada lembaga-lembaga umum (bukan SLB) ternyata hampir tidak ada yang mau menerima ABK. Contoh kasus, pada dua lembaga PAUD yang letaknya dekat dengan rumah (salah satunya bahkan berada di komplek perumahan kami), mereka menolak untuk menerima Balqiz. Dengan alasan klasik, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bisa menerima ABK dan menyarankan untuk ke lembaga/ sekolah khusus dan hingga alasan yang rasanya mengada-ada seperti kuatir mengganggu proses belajar anak-anak yang lain atau merepotkan.
Dan jika ada lembaga yang mau menerima, letaknya sangat jauh dari lokasi rumah, sehingga tidak lagi tercapai sebuah suasana pendidikan yang menyenangkan bagi anak, dikarenakan untuk mencapai lokasi lembaga pendidikan harus ditempuh dengan jarak yang jauh dan waktu yang cukup lama bagi anak. Belum lagi akan timbul masalah transportasi dan pengawasan bagi anak.
Kasus serupa juga terjadi pada beberapa teman yang berada di luar kota Jakarta. Yang sudah kami temui adalah di kota Bandung, Semarang, Jogja dan Balikpapan. Walaupun sebenarnya jika melihat kota-kota tersebut, sudah termasuk dalam kota provinsi yang seharusnya memiliki lembaga yang bisa memfasilitasi. Sehingga timbullah sebuah pertanyaan, di kota kota besar saja ABK tidak/belum bisa memperoleh PAUD yang sudah seharusnya menjadi hak mereka, bagaimana dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia?
Itulah beberapa hal yang membuat saya bersyukur bahwa saya berada di sebuah kota besar, yakni Jakarta, di mana anak saya, Balqiz Baika Utami, bisa memperoleh PAUD disebuah SLB. Balqiz memulai PAUDnya di usia 2 tahun 3 bulan.
Namun demikian akan muncul lagi sebuah pertanyaan lain, apakah berada di sebuah kota besar lantas segalanya mudah? Sulit atau mudah sebenarnya sangat relatif. Di kota besar atau kecil sebenarnya juga relatif. Mengapa? Selain dari kendala ketersediaan lembaga PAUD juga ada kendala lain.
Kendala lain yang terjadi di lapangan terkadang sekolahnya ada, program yang diperuntukkan untuk ABK juga lengkap, namun terkendala oleh sikap dari orangtua dari ABK yang belum sepenuhnya bisa ‘menata hati’.
Sikap orangtua yang masih mendua, di satu sisi menyadari bahwa anaknya memerlukan pendidikan dan bimbingan, di sisi lain masih berperang batin bahwa ‘aku orang termalang di dunia’ dan segala ‘andai’ yang berkecamuk, juga menimbulkan tidak tercapainya tujuan dari PAUD bagi ABK tersebut. Kendala tersebut cukup menyulitkan bagi orangtua untuk dapat terus menerus bisa berpikir positif mengenai kemajuan pendidikan ABK.
Yang terjadi adalah usia anak semakin besar namun belum juga memperoleh pendidikan bagi dirinya, hingga saat orangtua tersadar ternyata usia anak sudah terlambat, sudah mencapai 7, 8 bahkan 10 tahun atau lebih, barulah terpikir untuk memberikan pendidikan.
Atau, sang anak sudah sejak dini memperoleh pendidikan namun dikarenakan si orangtua masih ‘menata hati’, akhirnya pendidikan bagi ABK tidak bisa maksimal dikarenakan belum adanya keselarasan, kesamaan langkah antara lembaga pendidikan dan orangtua.
Sesungguhnya sekarang, pilihannya ada pada para orangtua sekalian;
Segera menata hati (dan bangun!) demi pendidikan dan masa depan anak ABK yang lebih baik, atau terus-menerus memanjakan hati dan berandai-andai serta membiarkan sang anak tetap ‘berkebutuhan khusus’.
Itulah yang saya maksudkan bahwa baik dikota besar atau kecil, sulit atau mudah adalah relatif. Sulit jika memang dikondisikan sebagai hal yang sulit tapi mudah jika orangtua bisa mencari dan mengupayakan solusi dari kendala kendala tersebut.
Sebagai contoh kasus, seorang sahabat yang bermukim di Semarang, dengan rela dan berupaya keras untuk bisa memperoleh PAUD bagi anaknya yang berusia 2,5 tahun penyandang tunanetra harus menempuh jarak yang cukup jauh menuju kota Klaten. Dan seorang sahabat lainnya yang juga memiliki seorang anak berusia 5 tahun penyandang low vision yang berada di Jogjakarta dan jarak tempuh menuju PAUD hanya 1 km namun menolak untuk memberikan PAUD bagi anaknya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa kendala yang terjadi di lapangan adalah;
Kurangnya informasi pentingnya PAUD bagi ABK
Kurangnya lembaga pendidikan yang mau memfasilitasi PAUD bagi ABK
Kesiapan orangtua untuk bisa memberikan PAUD bagi ABK