Jumat, 23 Mei 2014

tulisanku hari ini #edisi bingung mau dikasih judul apa



Obrolan suatu sore bersama seorang sahabat dimana dia juga berprofesi sebagai seorang konsultan pendidikan bagi dunia disabilitas anak, utamanya anak-anak MDVI (Multi Disable with Visual Impairment), membawa ke sebuah topik yang menarik untuk ditelaah.

Anak-anak berkebutuhan khusus, dalam kasus ini adalah MDVI, dimana begitu kompleksnya kondisi yang ada pada dirinya, seringkali menuai hambatan berkomunikasi.

Orangtua kesulitan mengerti apa yang diinginkan oleh anak, dan anak kesulitan untuk menyampaikan apa yang diinginkan/ dirasakannya.Pada saat usia sekolah, dalam keterbatasannya anak bisa beraktifitas dan berkembang dengan baik sesuai dengan kemampuan dan potensi anak. Seiring dengan bertambah usia dimana tiap sekolah mempunyai batasan masing-masing hingga di usia berapa anak-anak bisa difasilitasi oleh lembaga.

Ada yang hingga usia 20 tahun, ada yang 25tahun, namun ada juga yang hingga usia 40tahun. Pada saat anak/ pendis tersebut dikembalikan kepada keluarga untuk masuk didalam binaan keluarga, idealnya ada masa transisi sebelumnya dimana baik anak/ pendis maupun orangtua/ keluarga sudah memiliki bekal baik pengetahuan maupun kemampuan serta penerimaan yang sangat baik, sehingga masa transisi dan setelahnya saat benar-benar kembali pada lingkungan keluarga, sudah tertata dengan baik, sudah memiliki program berkesinambungan.

Namun disayangkan, kondisi ideal tersebut hanya sedikit sekali keluarga yang bisa selalu konsisten dan memegang komitmen untuk berlangsungnya program yang telah dirancang. Sehingga pada akhirnya, anak/ pendis hanyalah duduk dirumah tanpa adanya sebuah kesibukan/ aktifitas yang menjadi rutinitas ataupun tanggungjawabnya. Dimana biasanya juga terjadi hambatan komunikasi dua arah diantara kedua pihak. Seperti yang sudah disampaikan diatas.

Ternyata kondisi tersebut menimbulkan tingkat stress tersendiri pada anak/ pendis sehingga semakin lama kondisi tersebut pada akhirnya melemahkan daya imunitas badan terhadap penyakit. Sehingga pada beberapa kasus kami dihadapi oleh pemberitaan bahwa si A si C si Z si X meninggal tanpa adanya gejala sakit berkepanjangan sebelumnya, atau hanya dikarenakan sesuatu yang terlihat ‘remeh’.

Telaah obrolan ini masih menjadi sebuah pemikiran tersendiri buat bunda. Kembali ke rumah dengan isi kepala yang penuh dan menganalisa banyak hal. Termasuk instrospeksi diri dan sebuah tamparan besar. Sudahkah aku, ya aku, konsisten dan tetap memegang komitmen proses pembelajaran yang telah menjadi program berkesinambungan antara sekolah dan rumah/ keluarga?

Karena jika hanya mengandalkan periode masa transisi saja yang hanya beberapa bulan saja, bahkan terkadang hanya berlangsung dalam hitungan harian, apakah bisa dan cukup memfasilitasi kebutuhan balqiz kelak?

Konsisten dan komitmen keluarga tidak bisa terjadi dalam waktu sekejap, akan selalu ada ‘beribu alasan’ untuk pembenaran kenapa tidak bisa dijalankan semestinya. Dan waktu selalu terus berjalan tidak pernah berhenti sedetikpun, tanpa kompromi.

Pilihannya adalah teguhkan niat dan konsisten serta memegang komitmen atau…. Memilih memendekkan usia abk kita dengan memberikan tingkat kestresan yang tinggi.

#plaktampardirisendiri
#toyorkepalasendiri
#belajar



Tidak ada komentar: