Jumat, 24 Oktober 2014

kunjungan ke dr. tht



Minggu lalu saat balqiz berendam di kamar mandi, rupanya telinga kirinya kemasukan air. Selesai mandi sebenarnya dia sudah mengeluh. Sudah ibuk coba bersihkan dengan cotton buds namun katanya sih masih ada airnya. Karena gak berani terlalu dalam memasukkan cotton buds, segera disudahi dan biasanya secara perlahan nantinya air yang masuk akan keluar dengan sendirinya. Dan setelah itu tidak ada lagi terdengar keluhan dari acis, jadi ya tenang-tenang saja. Ibuk pikir ya masalah sudah selesai.

Namun ternyata, hingga beberapa hari kemudian kembali balqiz mengeluh kalau telinga sakit, bahkan saat terpegang daun telinganya saja sudah terasa sakit. O… oo… setelah di interogasi ya ternyata memang sejak kejadian kemasukan air itu dan setelah dicoba dibersihkan masih terasa tidak nyaman dirasakan.

Akhirnya diputuskan harus ke dokter tht. Cumaaaa mikir juga nih. Dokter tht yang dulu merawat balqiz adalah dr. Semiramis, SpTht yang prakteknya di RS PIK dan di THT Komunitas RSCM. Wew…. Rasanya kok wow banget ya jika harus ke blio dan harus menempuh jarak yang jauh serta merta terbayang adalah harus membelah kemacetan di dalam kota. Jadi dipilihlah ke RS Haji Pondok Gede saja yang deket. Sempet si ayah nyuruhnya ke RSIA Hermina Jatinegara aja, dimana medical record acis ada disana. Tapi ya itu dia yang ngadepin situasi kemacetan di jalanan kan ibuk bukan si ayah, jadilah si ibuk tetap memutuskan ke RS Haji saja yang terjangkau jaraknya dari rumah, jikapun gak bawa kendaraan sendiri masih bisa naik angkot.

Berangkatlah ibu, acis dan kakak alifah ke RS Haji. Daftar aja ke dokter THT yang sedang praktek saat itu. Wes gak pake milih milih dokter, dan gak sempet juga cari cari info tentang track record dokternya. Yang penting acis bisa segera mendapat diagnosa dan ditangani dengan baik. Jadilah di daftarkan ke dr. F, SpTHT oleh petugas administrasi yang menerima registrasi.

Alhamdulillah tidak terlalu ramai, hanya menunggu 1 orang pasien yang diperiksa sebelum balqiz. dokternya sudah sepuh, dan yang aku rasakan sih tidak terlalu ‘bisa’ berkomunikasi, cepat menyerah saat balqiz sempat menolak di pegang telinganya, maunya intervensi saat balqiz gelisah dan aku sedang berusaha menenangkan. Hmmmmm…. Lengkap kronologisnya adalah,..

Setelah menyampaikan keluhan yang dirasakan acis, dokter meminta acis duduk di kursi periksa, seperti biasa aku meminta waktu sejenak kepada dokter untuk acis orientasi sebentar, aku minta balqiz meraba dan kemudian duduk di kursi sembari aku menjelaskan bentuk kursi, kegunaan dan kenapa harus duduk disana. Belum selesai semua proses tersebut, sang perawat dan dokter yang sama sama tidak sabar, langsung mengeksekusi memegang kepala balqiz untuk bisa diposisikan telinganya. Bisa ketebak kaaaannn…. Balqiz langsung tereak dan berontak. Seketika sang dokter mengatakan ya sudah kalau gak bisa diperiksa. Nanti datang lagi kalo sudah bisa. Hiksss….

Si ibuk mpe bingung sendiri mau membujuk siapa dulu nih. Mau membujuk dan menenangkan acis dulu atau berargumen dengan sang dokter. Akhirnya aku tarik tangan kakak alifah dan meletakkan tangan kk di tangan acis untuk membantu menenangkan sementara aku berbicara dengan dokter. Kembali aku meminta waktu untuk membujuk balqiz dan menjabarkan kepada balqiz apa saja yang ada di sekitar dan juga berbicara dengan suster agar dia tidak memegang kepala balqiz tanpa permisi terlebih dahulu dan aku meyakinkan suster bahwa tanpa dipegang pun balqiz nanti akan menurut asal diberi waktu.

Singkat kata, akhirnya bisa membujuk balqiz sekaligus menjelaskan kepada sang dokter bagaimana berinteraksi dengan balqiz yang tunanetra. Balqiz bisa duduk tenang di kursi periksa dan menjalani pemeriksaan.

Yang terjadi adalah air yang masuk terperangkap dalam kantung udara di dalam telinga dan ternyata ada kotoran yang langsung dibersihkan. Waks…. Takjub juga melihat kotoran yang ada di dalam telinga, bentuknya berserabut, memanjang, berwarna hitam, mirip dengan tampilan biji kurma.

Ternyata masih ditemui team medis yang ‘belum’ bisa luwes berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Dari pengalaman ini, yang tertangkap bahwa mereka hanya berpikir cepat selesai dilakukan pemeriksaan dan tidak mencoba untuk berinteraksi agar pasien merasa nyaman terlebih dahulu.

Pelajaran buat kita semua, bagi para orangtua harus mempersiapkan ‘social story’ kepada anak saat akan ke dokter atau kemanapun, sehingga anak punya ‘gambaran’ apa yang akan terjadi pada dirinya sehingga bisa meminimalis reaksi tantrum anak. Harus diakui pula bahwa ‘bagian ini’ pun bukan hal yang mudah dilakukan, terlebih apabila abknya masih memiliki hambatan komunikasi.

Pelajaran bagi team medis sendiri dalam menghadapi anak-anak terlebih anak berkebutuhan khusus memang diperlukan waktu dan komunikasi yang tidak bisa disamakan dengan kondisi pasien umum. Membutuhkan ‘passion’ sendiri. tidak mudah memang, tapi yakin bisa.