Selasa, 04 Juni 2013

???



Tulisan ini terinsipirasi dari sebuah obrolan pendek, dan sampai bingung mau ngasih judul apa dari tulisan ini.

“bun, keponakanku sudah 7 tahun, dia terlambat bicara dan sekarang sekolahnya masih di tk. Kok gak terlihat ada kemajuan ya setelah sekolah”
“terlambat bicaranya menurut diagnosa dokternya apa”
“ada hambatan pendengaran bu”
“hambatan di sekolah menurut guru yang menangani apa?”
“nggg…. Ya katanya sih anaknya gak bisa ngikutin pelajaran”
“gimana kalo bersekolah di SLB”
“haaahh!! SLB bun? Aduuuhhh jangan dong bun. Masa di SLB sih”
“lhoo emang kenapa dengan SLB? Anakku sendiri juga sekolahnya di SLB kok”
“haaaahh? Bunda anaknya sekolah di SLB. Duh bun.. jangan dong. Kan malu kalo sekolah di SLB. Kan keponakanku gak cacat”
“abk, anak berkebutuhan khusus, bukan cacat”
“ya sama aja kan bun… gak ah, keluarga bakalan malu kalo ada yang sekolah di SLB”

Obrolan terhenti namun meninggalkan ‘pikiran’ pada diriku.

Rupanya masih ada stigma pada masyarakat yang menilai SLB dengan sesuatu yang ‘jelek’, ‘memalukan/ aib’ di tengah ‘kemajuan’ jaman saat ini.

Aku sangat mendukung program inklusi abk pada sekolah regular/ umum. Dan sangat berharap sekali satu saat kelak Balqiz bisa bersekolah inklusi di sekolah umum. Entah kapan waktu yang tepat itu, sedang dalam proses mempersiapkannya. Buat aku, persiapan berinklusi sangat penting, gak asal cemplungin anak di sekolah regular/ umum tanpa pembekalan yang matang. Apa saja? Banyak. Mulai dari lancarnya anak membaca menulis dan memahami pelajaran, sosialisasi yang baik, kesiapan mental, emosi.

Namun kembali lagi berpikir, bahwa ada beberapa kemungkinan yang bisa dianalisa kenapa seorang abk tidak bisa berprestasi dengan baik di sekolah umum.

Mulai dari belum ada kesiapan mental sang anak, sulitnya menjalin komunikasi antara anak dan guru/ lingkungan sekolah, ada hambatan pada abk yang belum terdeteksi, minimnya komunikasi pihak sekolah dan orangtua, dll.

Dan utama lagi dalam kasus diatas adalah totalitas penerimaan akan ‘keberadaan abk’. Diakui iya ‘abk tersebut’ ada, namun belum ada totalitas penerimaan akan abk tersebut. Penerimaan abk atas segala kelebihan dan kekurangan potensi yang ada pada dirinya.

Memang, secara kasat mata, penyandang disabilitas tunarungu/ tunawicara tidak terlihat. Mereka tidak terlihat ‘perbedaannya’ apabila berada di masyarakat, nanti setelah ‘berkomunikasi’ barulah perbedaan tersebut muncul.

Sehingga banyak hal yang harus di evaluasi dalam kasus diatas. Aku hanya bisa menyarankan untuk konsultasi kembali anak pada klinik tumbuh kembang yang merawatnya, sehingga bisa di evaluasi dan di deteksi adakah hambatan lain pada abk tersebut. Dan memberikan pandangan bahwa SLB tidak ‘sejelek’ yang selama ini menjadi ‘image’ di masyarakarat. Saran bagi orangtua dan keluarga agar bisa bergabung bersama parent support grup atau komunitas dari orangtua/ keluarga abk penyandang tunarungu/ tunawicara sehingga orangtua/ keluarga bisa memperoleh penguatan/ dukungan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa tempat yang tepat bagi abk tersebut berada di SLB. Mungkin saja setelah bersekolah di SLB, prestasinya akan terlihat menonjol dan bisa berkembang dengan baik sesuai dengan usianya.

Karena anak berada di sebuah lingkungan yang kondusif, bisa menjalin komunikasi dengan sekitar, dan bisa memahami mata pelajaran dengan baik dan bisa meraih prestasi yang membanggakan. Sembari kemudian hari menata kembali dan mempersiapkan dengan baik kembali bersekolah di sekolah regular/ umum mengikuti program inklusi. Banyak kok abk yang juga sukses ber-inklusi. Dan banyak juga abk yang berprestasi di SLB.

Lagi-lagi, akar masalahnya adalah ‘totalitas penerimaan abk’ dalam keluarga. Masalah klasih. Namun adalah ‘peer’ besar.


1 komentar:

Elsa mengatakan...

sangat disayangkan ya, masih ada "MALU" dalam pikiran mereka soal ini, dan menganggap sekolah di SLB adalah aib yang mengenaskan.

Adik saya penyandang down syndrom dan sekolah di SLB juga.

:)